Senin, 25 Februari 2013

cerita yang sedih

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan
punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik,
tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis
di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen
dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku
dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?”
Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah
tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku
yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang
batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa
mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak
tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah
terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun.
Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,
bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut,
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang
begitu baik…”
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa
gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca
banyak buku.”
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
“Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan
jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan
kamu berdua sampai selesai!”
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke
muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki
harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku:
“Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari
kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis
dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku
berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di
luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya
kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa
kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum,
“Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika
mereka tahu saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu
debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam
kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah
adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk
kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya
melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah
telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku
pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum,
“Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika
memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan mebalut lukanya.
“Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan
itu tidak menghentikanku bekerja dan…”
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun
itu, adikku 23, Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan
tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah
mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu
menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya
seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa
kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir
tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita
seperti apa yang akan dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah:
“Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?”
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan
itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
“Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat.
“Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda.
Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke
sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari
sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di
rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya
bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku,
orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

pantun sedih

Pantun Bersedih Hati
Buah persik pokok berangan,
Mari ditimbang dalam perahu.
Sudah nasib suratan tangan,
Susah senang tiada yang tahu.
Buah rambutan rumpun pandan,
Mari dikerat buloh sembilu.
Sudah suratan di dalam badan,
Susah melarat sedih dan pilu.
Sirih nan layu hidangan puteri,
Kembang goyang hidangan ratu.
Sedih dan pilu sepanjang hari,
Tiada orang yang ambil tahu.
Patah dikerat kayu sebatang,
Cendana jelutung kayu meranti.
Susah melarat hai anak dagang,
Bencana datang silih berganti.
Lebah terbang jauh ke seberang,
Terbangnye jaoh sampai ke Bali.
Musibah datang di rantau orang,
Terkenang kampong hendak kembali.
Berakit-rakit membawa sirih,
Pergi ke hulu menebang cendana.
Badan sakit jiwapun perih,
Hati pun pilu terkenang merana.
Buah pauh dibawa ke kota,
Mari dibeli pedagang pandir.
Sudah jauh dipandang mata,
Dalam hati pun tiada hadir.
Dari Kelang membawa selasih,
Ke Pematang Siantar membeli pauh.
Duhai sayang Bunda nan kasih,
Anakmu terlantar di negeri jauh.
Bunga selasih di dalam loyang,
Cempaka melati dibungkus kain.
Putus kasih putuslah sayang,
Cintaku pergi dengan yang lain.
Bakul penangkin bawa ke ladang,
Dibawa juga dupa setanggi.
Sudah miskin hidup pun malang,
Dinda tiada menoleh lagi.
Asam kandis asam kuini,
Berenang lundu ke arah hulu.
Pedih menangis seperti ini,
Kukenang rindu masa dahulu.
Asam jawa jatoh tenggelam,
Dicuri musang bawa berenang.
Selama nyawa dikandung alam,
Akankah kudapat maknanye senang.

puisi sedih

~Keraguan~

Sering kali kau tanyakan padaku,tentang Cintaku,
Dan juga harapanku...

Sering kali juga ku jawab pertanyaanmu,
Cintaku hanya kamu...
Rasaku hanya untukmu...
Dan Harapanku adalah Ingin memilikimu...

Masihkah kau Ragu atas ketulusan Cintaku...
Atas semua perhatianku padamu...
Semua ku curahkan hanya Untukmu...

Jika memang kau ragu lupakan saja Aku...
Dari pada membuat beban Hatimu...
Keraguan menguasai Jiwamu...

~Mulai Dari Mana~

Harus ku mulai dari mana
Kala hati semakin merana
Sementara sepi kian memaksa
Dia berkata; Aku harus berbicara

Beribu puisi telah aku rangkai
Beribu sajak telah aku urai
Mewakili hati yang sepi
Mewakili jiwa yang nyeri

Sementara siang kian meradang
Sebentar lagi berubah petang
Aku masih saja terdiam
Dengan pemikiran yang merajam

Sementara sepi kian memaksa
Agar aku lekas berbicara
Dan lantang dalam bersuara
Selayak hidup dalam dunia

Namun apalah daya
Aku bisu, Aku bungkam
Aku tetap diam
Dan mungkin selamanya diam

~Entah Sampai Kapan~

Entah sampai kapan kesabaranku tak bergulir
Tetap tertanam di hati dan tak berakhir
Menahan badai kehidupan dan takdir

Entah sampai kapan ketegaranku tetap di dalam dada
Kokoh bak karang di samudera
Tuk menahan terjangan gelombang ujian dunia

...
Entah sampai kapan ketabahanku masih tersimpan di sanubari
Tertanam tuk hadapi misteri hidup ini
Tuk mengejar harapan dan mimpi-mimpi

Entah sampai kapan aku mampu bertahan
Menghadapi segala penderitaan
Ya Allah berikan hamba kekuatan

~Tak Mudah~

Tak mudah menjadi sepertiku
Tak mudah mengerti perasaanku
Tak mudah memahami isi hatiku
Namun begitu mudah mencaciku

Tak mudah berinspirasi
Tak mudah berimajinasi
Tak mudah menuangkan isi hati
...
Namun begitu mudah berkata tak terpuji

Tak mudah tuk berkarya
Sebuah seni tak mudah tercipta
Hanya karena selera tak sama
Begitu mudahnya mencela

Hargailah sebuah karya
Walau tak sebaik mereka
Cobalah tuk memahami
Tak semua bisa sehati

~Ibu, Aku Rindu~

Ibu, engkaulah air mata dalam bahagiaku
Senandung rindu dalam sepiku
kekuatan hati dalam tangisku

Ibu,sesungguhnya ku tak sanggup berdiri
tanpa restu dari tanganmu
tanpa keihklasan dalam do'amu
Tanpa senyummu dalam dukaku

Ibu...
Aku ingin pulang
menangis dipelukmu

~Jangan Ada Penyesalan~


Kita tidak perlu mencari alasan.
Mengapa mencintai.
Biarkan cinta tumbuh sendirinya.
Alasan apapun kita tak tahu kita cinta.

Tidak perlu ada penyesalan.
Pada cinta tidak bersahabat.
Hapuskan nama yang telah tersiksa.
Mulailah hidup baru dengan harapan.

Saat bertemu dengannya.
Katakan aku tak peduli.
Saat dirinya pergi.
Katakan atas nama cinta ku menanti.

Hapus airmata demi ketegaran.
Jangan tangisi kepergiaannya.
Tangisi dengan bahagiamu.
Kau pernah memiliki cintanya walau raga tak termiliki.

Mungkin Tuhan menginginkan bertemu.
Dan bercinta dengan orang yang salah.
Tapi kita harus mengerti.
Bagaimana berterimakasih atas Kurnia-NYA itu.

pantun romantis

Berikut ini Kumpulan Pantun Romantis Terbaru Terbaik

Jika benar ada hati yang terlalu
Jika benar ada cinta yang melulu
Jika benar ada rindu yang melagu
Tolong izinkan aku tuk memilikimu

Beribu ribu ular berbisa
Cuman satu yg berbisa
Beribu-ribu wanita di indonesia
Cuman kamu yg ku cinta

Jalan-jalan ke ibu kota
Mampir sebentar membeli pulsa
Putus tali tidak apa-apa
Putus cinta pusing kepala

Dari desa ke kota
Jangan di kira tamasya
Daripada bingung mikirin cinta
Lebih baek jadian ma saya

Di akhir hyat mnutup mata
Siap mnghadap kharibĂ an ilahi
Aq dtang mncari cinta
Cinta sjati yg akn abadi

Terbang peri sampai ke awan
Elok gemulai bersayap putih
Hatiku perih tiada tertahan
Di rajam cinta sungguhlah letih

Malang si balam tak bs terbang
Berlari lari selamatkan diri
Tiap malam aku berdendang
Lupakan perih rasa di hati

Layar terkembang di atas bahtera
Untuk bersiap arungi selat
Hati tergenang air mata cinta
Indah ku harap luka ku dapat

Beli mawar paling bagus maunya
Yg kuncup jgn dibuang
Sayangku kamu mmg tiada duanya
Yg laen cuma dayang dayang

Sungguh sulit pelajaran fisika
Apalagi pelajaran matematika
Sungguh sulit memutuskan cinta
Apa lagi cinta pertama

puisi romantis

CINTA SEJATI
Puisi Adelia Lintang Kirana

Ku bangun istana cinta diatas setiaku
Ku lindungi dindingnya dengan percayaku
Ku hiasi semuanya dengan keihklasanku
Ku rawat keteguhanya dengan ketulusanku
Dan ku ciptakan kedamaian dengan kasih sayangku

Andai takdir tak merenggutmu
Andai ku bisa menjaga keabadian hidupmu
Aku bukan Tuhan Yang Maha Mampu
Mengendalikan semua apa yang ku mau
Aku juga bukan malaikat penjagamu
Yang slu menemanimu sepanjang waktu

Ku hanya kasih dalam hatimu
Cinta dalam hidupmu
Rindu dalam nafasmu
Yang kan tetap hidup dalam sanubarimu